Archive for Agustus, 2011


“Apa pendidikanmu?” tanya Pak Lim, yang nantinya, ketika jam dindingku sudah berganti baterai dua kali, akan menjadi mertuaku.

Bahkan ketika pertama kali aku bertandang ke rumah Margaret, anak perempuan bungsunya, pendidikan menjadi kunci bagi pintu keramah-tamahannya. Apa yang terjadi bila aku menjawab “lulusan STM pak…”. Kukira senyum ramah tanpa unjuk gigi itu, akan menunjukkan taringnya, disebabkan momentum dari senyum menuju bentuk bibir kaget terperangah. Jelas saja, pikirku, tanpa logika atau analisis berlebih. Anaknya saat ini sedang dalam penelitian akhir untuk gelar Sarjana Teknik di jurusan arsitektur. Sarjana teknik saja di kota ini hanya terdapat di universitas negeri, itupun hanya tersedia teknik sipil, elektro, dan informatika. Arsitektur??? Hanya ada di seberang pulau, di Jawa sana.

Margaret Salim, aku kenal dari sebuah pesta valentine di Gereja Santo Fransiskus, saat acara tukar kado. Dia sedang liburan semester sekaligus mencoba meraba-raba proyek penelitiannya yang mungkin saja diambil di kota ini.

“Kau teliti Gereja Katedral saja!” bukaku mencoba menjadi sosok inspiratif.
“Oh ya?! Mengapa katedral?” tanyanya menjaga momen pembicaraan pertama ini agar tidak canggung.
“100 tahun… ya itu umur yang telah dicapai bangunan tersebut. Dan berdasarkan undang-undang, katanya, umur 100 sudah termasuk cagar budaya.” Jawabku sebagai penduduk yang memang kecil dan besar di kota ini.
“Selain itu, bukankah menurutmu menara katedral dan jamnya itu seperti katedral di London dengan Big-Bangnya? Temanku pernah membuat film independen dengan latar menara katedral itu sebagai London hahaha” tambahku diakhiri tawa kecil.

Margaret ternyata juga tertawa simpul.
“Oh ya?! Kamu pernah ke London rupanya? Hebat…” kembali dia mempertanyakan.
Mencoba tampak ramah dengan lelucon dan tingkah kocak di depan gadis incaran memang menjadi trik umum. Jadi apa yang kulakukan? Hanya mengangkat tangan setinggi bahu dengan telapak ke atas.
“Big Ben, 320 kaki, 105 meter dengan berat 13 ton, terletak di Whitechapel Bell Foundry di London Timur, di gedung parlemen.” Begitu cepat perubahan dari tawa kecil manis itu menjadi sebuah mesin penjawab yang akurat. Oh Tuhan…
“dan bukan di katedral London” lanjutnya.

Data-data yang keluar dari bibir tipisnya itu begitu tegas dan lancar. Hidupnya selama ini sepertinya habis hanya untuk menghapal fakta-fakta yang ada di buku tebal berdebu, lembar demi lembar. Gengsinya tampak begitu kuat, bukannya memberikan lelucon garing untuk menyamankan suasana saat itu. Namun, yang dilakukannya seperti sebuah serangan pembuka yang ganas, yang bisa mengakhiri lawannya saat itu juga. Aku yakin, data tentang Eiffel sampai Tembok Cina dapat keluar saat tidur dan mengigau.

Saat itu pendidikan tentu saja menjadi pangkal fokusnya pemikiran kaum muda kalangan menegah atas. Nilai dan prestasi gemilang meluruskan semua tujuan, tanpa menikung atau berteduh di simpang yang indah. Ya, untuk apa membebankan percabangan otak, bila dalam angannya adalah sekolah baik, mendapatkan pekerjaan bergengsi, dan menikah dengan pasangan dengan karir cemerlang. Tapi kali ini ada perbedaan, mungkin saja malam itu, Margaret mengubah orientasi pemikirannya, ketika perbincangan terus berlanjut.

Pertama, karena kado dariku, mahasiswa semester sembilan jurusan Ilmu Sosial, yang masih saja bergelut dengan proposal skripsi, adalah patung miniatur seekor anjing buldog yang digambarkan penuh liur. Kedua, Margaret akhirnya menemukan tema penelitiannya, dari letusan ideku.

“Oh ya, mengapa Kampung Beting?” tanyanya ketika kulontarkan sebuah ide penyambung lidah untuk nikmatnya menatap wajah oriental Margaret.
“Mengapa pulau ini dinamakan Kalimantan?! Pasti ada kaitannya dengan kali kan?! Sekarang ini Pontianak dikenal dengan kota seribu parit. Parit-parit itu dulu adalah sungai-sungai yang cukup besar di sini.” Paparanku tentu saja bukan jawaban dari tanyanya. Bagiku menjawab itu pendidikan juga, bukanlah menyuapkan makan pada seorang bocah kelaparan. Namun, juga mengisahkan bagaimana nasi itu bisa ada di piringnya.

Lonceng di menara gereja berdentang lagi, jam sembilan sekarang. Kami diberi 15 menit untuk berkenalan dan berbincang dengan rekan penerima hadiah. Sudah habis waktuku dengan Margaret.
“Dan mengapa kota ini sering saja banjir?! Kau tahu, rumah tempat tinggalmu itu, Gajah Mada, dulu adalah sungai yang besar.” Lanjutku.

“Pontianak sekarang banjir terus, karena sekolah hanya sibuk mencari kerja. Aku hanya teringat kisah lampau tentang pendidikan jaman Belanda. Saat itu rakyat hanya boleh bersekolah dua tahun. Kelas Angka Dua dan Kelas Angka Satu, tapi semua pelajarannya, berhitung, menulis, ilmu bumi, langsung mereka gunakan setamatnya dari sana.” Kembali lanjutku cepat, menyadari waktu dengan gadis berfisik menggoda ini akan berakhir.

“Waktu kita habis Vin. Dan kau mengaku hanya tamat STM?! Wah, STM yang pintar.” Margaret menanggapi.
“Oh ya, jadi kamu bilang Belanda hebat?” katanya

Sound sistem kembali berdengung, berbicara dengan gaya riang bertempo cepat naik turun. Tak ada yang kutanggkap dari suara panitia di atas mimbar. Aku masih menatap punggung sempurna, rambut yang diikat ke atas seperti samurai, melihatkan lehernya yang menarik dan siap kuhisap.

Memang itu bukan pertemuan terakhir, dan bukan pula pertemuan di mana pendidikanku diinterogasi oleh bapak Agus Salim atau Liem King Tjoen. Setelah dalam pertarungan itu aku sempat disabet oleh serangan pembuka balasan yang pintar, aku setidaknya, menurutku memenangkan pertarungan akhir hingga panitia membubarkan. Aku sempat bertukar no hp meskipun dengan gaya kikuk dan terburu-buru, akting klasik ingin cepat pulang. Tidak cepat aku menghubunginya, setelah berkonsultasi dengan beberapa teman pakar cinta, aku akhirnya siap bertemunya lagi.

(BERSAMBUNG)
M.S.M.V.

Koko Kecil

Ternyata aku pernah kecil…
Aku sempat tak ingat,
Karena kehidupanku yang hanya menatap sedikit ke belakang.
Aku berlari terus, berjalan ke depan.
Ketika suatu ketika ku lihat ke belakang.
Aku pernah kecil…

Aku pernah ada dahulu,
Ketika aku kecil…
Bahkan di masanya,
Aku tak tahu bahwa masa remaja itu ada…
Masa dewasa itu ada…
Masa tua mungkin akan ada.

Aku pernah kecil,
Dan aku lupa gimana rasanya…
Aku hanya ingat beberapa…
Namun foto-foto buatan ayahku mengingatkan itu…

Aku pernah kecil…
Dan aku tak akan pernah kecil lagi…
Mungkin bila memang akan pernah,
Aku tak mungkin mengingat itu.
Yang aku ingat hanya sekarang ini…
Bahwa aku pernah kecil.

Suatu saat, Mei 2011