(…aku akhirnya siap bertemunya lagi.)
“Menara Pisa suatu saat bisa jatuh?” tanyaku seusai memesan es lidah buaya sebagai pembuka.
Aku membawa Margaret ke café mengapung di tepian Sungai Kapuas, jamuan yang paling layak untuk mereka yang lama meninggalkan Pontianak. Beberapa waktu, rakit kokoh dari bambu tempat kami duduk, bergoyang oleh sapuan ombak dari kapal yang hilir mudik di Kapuas.
“Sejak mulai dibangun 1173 dan 200 tahun kemudian mendapati bentuknya, Torre pendente di Pisa selalu saja bertambah miring” jelasnya.
“dan akhirnya akan jatuh…” potongku lambat seakan menyambung penjelasannya.
“Ya, dia akan jatuh, tapi tahun 1990 pengelola menutup tempat itu, merenovasinya dan dijamin, ketika kamu akhirnya bermain ke sana, Pisa tidak akan bergerak hingga 300 tahun lagi.” Margaret menutup penjelasannya dengan kuat, sedikit memukul meja di akhir ucapannya. Tentu saja ada bagian yang membuatku sedikit tersindir namun senang karena dia masih mengingat hal itu.
“Penguasa Jaman Orde Baru menimbun kota air ini dengan tanah. Tentu saja berharap akan banyak akses daratan tercipta, lahan yang bisa didirikan ruko-ruko. Memang bisa apa sungai di saat itu? Bahkan saat sekarang pun sungai tidak menjadi pilihan kan?”
“Oh ya, kamu mulai autis lagi, dan autismu membawaku pada cerita menarik tentang kota ini. Lanjutkan!” tanggap Margaret dengan tangan kanan sekejap ke atas. Hah, jargon kampanye politik yang tampaknya akan melekat lama. Tapi, entah alam bawah sadarku yang meminta, akupun mengangkat tangan kanan dan berujar pelan,
“Lanjutkan!”
“Jalan Gajah Mada itu sampai ke depan katedral dulu adalah parit besar, sampan-sampan dapat lewat di situ, berdagang, sekarang apa?! Jalan aspal padat dengan parit yang tak tampak, semuanya tertutup. Sewaktu saya SD, masih terekam setidaknya ada parit satu meter di situ. Aku selalu melangkahinya hati-hati karena beberapa kasus anak SD-ku pernah masuk kakinya.”
“Tentu kau tahu Parit Tokaya kan?! Yang besarnya sama saja dengan sungai. Di Jalan Purnama itu. Coba saja kau telusuri. Semakin dekat ke jalan besar, kau akan temui semakin mengecilnya itu. Bahkan di Taman Gitananda kau dapat melompatinya.” Aku masih berbicara.
“Oh ya, Bukankah banjir di wilayah aliran sungai hal yang biasa? Saya sangat yakin banjir juga terjadi di jaman VOC, itulah tipikal topografi Pontianak, delta berawa-rawa. Juga Mesir dan Nil-nya, juga Eufrat dan Tigris, Huang Ho dan lainnya. Masalah dulu dan sekarang sama saja, seharusnya tekonologilah yang berbicara, bukan menyerah pada alam.” Margaret menyambung, nyaris memotong memang, karena otakku terhenti sesaat mencerna percakapan intelektual ini. Ah, pamer kemampuan pula dia. Memang tipe tak mau kalah ini yang membuatnya mahal, bukan tak laku, tapi harganya tak cukup dengan usaha yang biasa.
Mata itu yang tak pernah lari dari tatapanku, kerut keningnya di wajahnya yang kekuningan di terpa sisa-sisa kekuatan mentari, cara duduknya yang tegap bersila, pendapat yang tajam, tidak mau menyerah. Ah, memang seperti inilah bayanganku tentang mereka, para pemenang dalam persaingan dunia individualis ini. Bentukan disiplin sejak kanak-kanak. Bukanlah manusia tanpa nilai yang tetap seperti diriku, manusia relativis.
“Seperti Amsterdam…” dia memulai lagi setelah tatapan kebisuan.
“Seperti Venesia.” Lanjutku mengambil celah waktunya bernapas.
“Seharusnya seperti itu, saya kira akan menarik, bukan hanya menikmati Sungai Kapuas ini, tapi juga keliling kota dengan perahu kecil. Bukankah itu indah?” demikian lanjut Margaret, dalam hati akupun setuju.
“Aku pernah berkata tentang pendidikan Belanda kan?!” mulaiku lagi.
“Oh ya, dan kau ternyata pendukung mereka. Tidak menyangka makhluk yang ngakunya pribumi memiliki pandangan kolonialis, haha..” serang dia.
“Satir… aku hanya menertawakan pendidikan kita, bukannya pro Belanda.” Aku mengelak, walaupun sekian persen di alam bawah sadar tentu tak bisa disalahkan, tetap saja ada kebenaran dalam sebuah kebohongan.
“Pendidikan di jaman yang kacau itu setidaknya berfungsi. Antropologi, tentang kebudayaan bangsa-bangsa, benar-benar bekal untuk mengambil kebijakan imperialis, membuat koloni. Saudara kita di Aceh dikalahkan seorang etnolog, Snouck Hurgronje, dahsyat!” lanjutku.
“Demikian juga plantologi, pemerintah kolonial sebenarnya sudah menerapkan di Pontianak. Masalah banjir alam diatasi seperti cara kota-kota cinta itu.” Aku berguman pelan diakhir.
“Amsterdan… Venesia… “ timpal Margaret.
Berwisata di kota yang pengunjungnya tak ramai benar, seperti Pontianak, masalahnya adalah di pelayanan dan mutu sebuah produk. Di tempat menarik ini, yang masih saja dalam beberapa menit, ombak dari kapal mondar mandir menggoyang rakit, nyaman, pesanan selalu lama disajikan. Es lidah buayaku harus kuhemat dengan memainkan sedotan dengan jari layaknya pipa hisap, lalu sari di ujungnya kusedot.
“Menarik sekali jika kita naik sampan ke seberang sungai. Mau ya?” aku berdiri melambaikan tangan pada bapak pengayuh sampan, yang parkir di dekat tangga turun ke sungai.
“Oh ya, kau sering naik sampan?” tanyanya.
“Dengan ini dua kali.”
“Akan menyeramkan untuk pertama kali” lanjutku.
Aku tahu gadis lain akan berteriak, beberapa kali, kemudian mengurungkan niatnya, setelah itu dengan heboh menceritakan pengalamannya dengan orang lain. Padahal naik pun tidak. Margaret sepertinya telah memakan habis perasaan takutnya, dia gugup karena tak pernah, dan terus mencobanya, namun dia tak menolak uluran tanganku yang membantunya.
Sampan itu bergoyang digeser ombak, tiap langkah kakiku juga menambah goyangannya. Beginilah bukan daratan. Yang tetap kusadari untuk kedua kalinya, adalah jarak tertinggi sampan hanya lima centimeter dengan permukaan air sungai. Ombak sedikit kuat kubayangkan dapat masuk ke sampan dan tenggelam, namun logikaku tak secanggih alat jaman purba ini. Ketika ombak besar datang, sampanpun ikut bergerak naik, sehingga lima senti itu tetap demikian saja sepertinya.
Di tengah tak komersilnya pariwisata di Pontianak, naik sampan menyusuri Sungai Kapuas adalah pengalaman yang estetik juga eksotis. Dengan lebar kukira lebih dari 100 meter, panjang tak terkira, permukaan air cokelat tampak berubah penuh gemerlap emas jingga, pantulan mentari sore. Kehidupan di pinggirannya menarik, kau akan melihat rumah-rumah penduduk di atas sungai, dengan berbagai aktivitasnya, mandi, mencuci. Dan kau akan merasakan aromanya, bau tanah basah segar, sedikit amis karena sampah. Dingin anginnya tak terbendung, memainkan rambut Margaret yang masih saja dengan model samurai.
“Kenapa Beting, Vin?” Margaret bertanya, kali ini wajahku benar-benar ditempa sinar sore, tak begitu jelas lagi menatapnya.
“Boleh aku ceritakan yang lain dulu? Sebelum masalah Beting.” Jawabku sambil membuat tanda kutip dengan dua jari, tersenyum.
“Asal sebelum kamu kembalikan saya ke rumah, kau ceritakan itu… haha” dia mengakhiri dengan simbol kutib juga, tertawa.
“Sewaktu sungai dan parit itu masih ada, dari tempat ini, kau bisa langsung ke Gajah Mada, rumahmu.” Jawabku masih tak menjawab soal Beting.
“Kau boleh bayangkan Venesia, atau Amsterdam, tapi ini di Pontianak. Kau menyusuri kota dengan sampan, atau perahu kayu dengan gaya menarik. Dari rumahmu kau ke Katedral yang tepat berada di pinggir sungai. Bayangkan ketika kau menikah, dengan latar sungai dan perahu, bukankah itu menarik?”
“Ironis memang di kota ini, menikah dengan konsep outdoor di tepi sungai masih sangat jarang. Padahal kota sungai.” Timpal Margaret.
“Kau dapat memutar dari sana, masuk ke Parit Haji Husein, atau Parit Bansir, jarak yang cukup jauh, sekarang di tengah kota pula, bahkan Mal terbesar ada di dekat situ, dan semua itu bisa dengan sampan atau perahu.” Aku meneruskan.
“Dan semua itu sebesar sungai. Perahu pun bisa masuk”
Margaret masih menyimak, dia memang berniat meneliti arsitektur di kota ini, kalau ada. Bagai spoons dia menyerap semua kisahku, menimang sebuah judul pamungkas, pemulus jalan bagi gelar suma cum laude. Aku memberi tanda pada pengayuh sampan, berbelok ke kiri menyusuri sungai pada bagian tepian.
(Bersambung)